awn advertising

berusaha untuk menjadi lebih baik, baik dan baik

Rabu, 12 Januari 2011

pernikahan adalah adaptasi seumur hidup

"Pernikahan adalah adaptasi seumur hidup!"
Itu nasihat mertua saya dihari pertama saya
menikah. Kalimatnya sederhana, tapi dalam
maknanya. Setelah saya mendalami ilmu tentang
komunikasi antar pribadi dan komunikasi antar
budaya, semakin mengertilah saya, betapa tidak
sederhananya mengimplementasikan 'saling
adaptasi' itu, apalagi seumur hidup.
Pernikahan adalah tempat dimana dua pribadi -
dengan dua latar belakang yang berbeda - musti
bersatu, setiap hari, selama sisa hidupnya. Diawal
pernikahan mungkin dua perbedaan ini tidak terlalu
menjadi masalah, karena bunga-bunga cinta dan
kebahagiaan seolah menutup adanya potensi
masalah ini. Tapi setelah berjalan sebulan - dua
bulan, 'aslinya' mulai keliatan. Konflik-konflik kecil
mulai muncul, dari masalah naruh handuk, baju
kotor, menata rumah, dan sebagainya. Perbedaan
kebiasaan inilah yang membutuhkan 'kedewasaan'
dua belah pihak untuk saling 'menyesuaikan' satu
sama lain.
Adaptasi berarti menyesuaikan. Kata ini akan
menjadi lebih bijak diterima daripada harus saling
menuntut peran antara suami - istri. Ada suatu
rumah tangga, dimana antara suami dan istri tidak
berhenti saling 'menuntut' peran masing-masing.
Sang suami menganggap istrinya tidak terlalu
pandai mengurus rumah dan anak. Rumah selalu
kelihatan berantakan, cucian tidak ada yang bersih,
anak-anak bergantian yang sakit. Ketidakpuasan
suami inilah yang menyebabkan suami sering
'turun tangan' sendiri menangani keadaan rumah
dengan omelan yang berkepanjangan. Sikap suami
inilah yang menyebabkan sang istri tidak 'nyaman'
dengan tuntutan sang suami. Jujur, memang
ketrampilan mengurus rumah dan anak tidak
'setinggi' yang diharapkan suaminya. Dia juga
sudah berusaha, namun tampaknya, menurut
suami it's not enough, karena ibunya dulu jauh
lebih trampil dari istrinya (ini masalah kebiasaan
yang dibawa sebelum menikah lo ....).
Nah, sebagai bentuk 'balasan' rasa tidak nyaman
yang ditimbulkan oleh suami, sang istri kemudian
menuntut tanggung jawab suami masalah nafkah
yang diberikan. Memang, harus diakui rizki Allah
belum melimpah ke keluarga tersebut. Usaha
suami dinilai belum maksimal mengusahakan
nafkah yang cukup bagi keluarga. Jadi ?
Memang, masalah tuntut-menuntut peran ini tidak
akan pernah berhenti, sepanjang belum ada
kesadaran masing-masing pihak untuk
'menghentikan tuntutan' (kaya' kasus pengadilan
aja ya?) dan mulai 'menerima' pasangan apa
adanya.
Inilah yang dimaksud dengan ADAPTASI. Proses
ini adalah proses untuk saling menyesuaikan,
menerima pasangan apa adanya, dan tidak
'berusaha' mengubah pasangan seperti
keinginannya. Proses adaptasi ini adalah proses
yang interaktif, dialektik antara suami dan istri.
Proses ini nantinya akan menghasilkan 'budaya
ketiga' , budaya kompromi dan budaya campuran
(mixed culture) yang disepakati oleh suami dan
istri.
Bagaimana dengan seumur hidup?
It means that, proses adaptasi diatas merupakan
usaha yang harus kita lakukan seumur hidup!
Setiap hari kita akan menemukan hal baru dari
pasangan kita (demikian juga sebaliknya, pasangan
kita juga pasti akan menemukan sesuatu yang baru
pada diri kita).
Ketika kita sedang be-te, banyak masalah di kantor,
kehadiran anak, kehadiran keluarga di rumah,
kondisi ekonomi, dll adalah situasi dan kondisi yang
mengharuskan kita untuk terus beradaptasi dengan
pasangan.
Perlu diingat :
Tingginya daya adaptasi diantara suami-istri akan
mempengaruhi kesolidan mereka dalam mengatasi
berbagai masalah di rumah tangganya. There is no
such a big problem as long as you are with me!
Jangan pernah berusaha u ntuk 'merubah'
pasangan seperti yang kita inginkan! Karena ia
dibesarkan dengan budaya dan caranya sendiri.
Yang bisa kita lakukan adalah dengan beradaptasi /
menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan dirinya.
***

Copas http://familycommunication.multiply.com/
journal/item/7/ADAPTASI_SEUMUR_HIDUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer